KEBENARAN

A. KEBENARAN

Kata “Kebenaran” dapat digunakan sebagai suatu kata benda yang kongrit maupun abstrak.[2] Jika subyek hendak menuturkan kebenaran artinya proposisi yang benar. Proposisi maksudnya adalah makna yang dikandung dalam suatu pernyataan atau stitmen. Apabila subjek mengatakan kebenaran bahwa proposisi yang diuji itu pasti memiliki kualitas sifat atau karakteristik, hubungan hal yang demikian itu sarana kebenaran tidak dapat begitu saja terlepas dari kualitas, sifat, hubungan, dan nilai itu sendiri.[3]

Pengertian kebenaran dapat dibedakan antara “kebenaran faktual” dan ” kebenaran nalar”. Kaum positifis logis bahkan mengklaim bahwa tidak ada kebenaran lain selain kedua jenis kebenaran ini. ” kebenaran faktual” adalah kebenaran tentang ada tidaknya secara faktual didunia nyata, sebagaimana di alam manusia ( biasanya diuicar dengan dapat – tidaknya dia nanti secara indrawi apa yang dinyatakannya_ Misalnya apakah pernyataan “bumi itu bulat” merupakan suatu pernyataan yang memiliki kebenaran. Faktual atau tidak pada prinsipnya harus bisa diuji kebenarannya berdasarkan pengamatan indrawi. Kebenaran faktual adalah kebenaran yang menambah khazanah pengetahuan tentang alam semesta. Sejauh dapat kita alami secara indrawi.

Kebenaran faktual bersifat nisbi dan mentak kepastiannya tidak pernah mutlak dan tetap diterima sebagai benar, jauh sampai sekarang belum ada alternatif yang dapat menggugurkannya.[4] “kebenaran nalar” adalah kebenaran yang bersifat tautologis dan tidak menambah pengetahuan baru mengenai dunia ini, tetapi dapat merupakan sarana berdaya guna untuk memperoleh pengetahuan yang berarti tentang dunia ini. Dengan kata lain dapat membantu untuk memperoleh pengetahuan yang memiliki kebenaran faktual. Kebenaran nalar adalah kebenaran yang terdapat dalam logika dan matematika kebenaran di sini bedasarkan atas suatu penyimpulan terdeteksi sehingga berbeda dengan kebenaran faktual yang bersifat nisbi dan mentak, kebenaran, ‘nalar bersifat mutlak.[5]

Thomas Aquinas, kadang orang juga membedakan antara kebenaran antologis (Veritas ontologica) dan kebenaran logis ( Veritas logika). Kebenaran ontologis adalah kebenaran yang terdapat dalam kenyataan entah spritual atau material, yang meskipun ada kemungkinan untuk diketahui, masih lepas dari gejala pengetahuan, misalnya tentang adanya segala sesuatu sesuai hakikatnya, kebenaran tentang adanya Tuhan, tentang keabadian jiwa, sedang kebenaran logis adalah kebenaran yang terdapat dalam akal budi manusia si penahu dalam bentuk adanya kesesuaian antara akal budi dan kenyataan. Menurut Thomas Aquinas, hadir dan terlaksanakanya kebenaran dalam pengetahuan manusia terjadi dalam bentuk pengarahan melalui proses yang tak ada hentinya dan tidak bisa lepas dari indra.[6]

Menurut Plato ” Kebenaran” sebagai suatu ketakter tersembunyian adanya itu tidak dapat dicapai manusia selama hidupnya di dunia ini. Pengertian kebenaran seperti ini sama dengan pendapat Thomas Aquinas sebagai kebenaran ontoiogis. Aritoteles dapat memahami kebenaran lebih memusatkan perhatiannya pada kualitas pernyataan yang dibuat oleh subjek penahu ketika ia menegaskan suatu putusan entah secara afirmatif atau negatif itu tergantung pada apakah putusan yang bersangkutan sebagai pengetahuan dalam diri subjek penahu itu sesuai atau tidak dengan kenyataannya. Di sini kebenaran dimengerti sebagai persesuaian antara subjek sipenahu dengan objek yang diketahui.

Bagi Aritoteles subjek yang mengetahui lebih penting daripada objek yang diketahui, sebagaimana dalam pandangan Plato, walaupun demikian bagi Aristoteles pun pengetahuan yang paling benar dan paling luhur baru dimiliki kalau subjek penahu ( idealitas) dan objek yang diketahui (realitas) itu identik satu sama lain dalam pengetahuan, akal, budi yang sempurna. Pengertian tentang kebenaran dalam tradisi Aristotelian adalah kebenaran logis dan linguistik propotional.[7]

Kebenaran pertama-tama berkaitan dengan kualitas pengetahuan artinya ialah bahwa setiap pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang yang mengetahui sesuatu objek dilihat dari jenis pengetahuan yang dibangun. Maksudnya apakah pengetahuan itu berupa : pengetahuan biasa yang disebut juga (Knowledge of The Man in The street atau ordinari Knowledge atau juga Comon Sense Knowledge, pengetahuan seperti ini memiliki kebenaran yang bersifat subjektif, artinya amat terikat pada subyek yang mengenal.

Tahap pertama ini memiliki sifat selalu benar sejauh tidak ada penyimpangan.[8] Pengetahuan jenis kedua adalah pengetahuan ilmiah yaitu pengetahuan yang telah menetapkan objek yang khas atau spesifik dengan menerapkan atau lampiran metodologis yang khas pula, artinya metodologi yang teiah mendapatkan kesepakatan diantara ahli yang sejenis, kebenaran yang terkandung dalam pengetahuan ilmiah bersifat relatif, maksudnya pengetahuan yang bersifat ilmiah selalu mendapatkan revisi yaitu selalu diperkaya oleh hasil penemuan yang paling mutakhir. Kebenaran dalam hal ini selalu mengalami pembaharuan sesuai dengan hasil penelitian.

Pengetahuan jenis ketiga adalah pengetahuan filsafati yaitu pengetahuan yang pendekatannya melalui metodologi pemikiran filsafati, yang sifatnya mendasar dan menyeluruh dengan modal pemikiran yang analitis, kritis, dan spekulatif. Sifat kebenaran ini absolut intersubjektif maksudnya nilai kebenaran yang terkandung. Jenis pengetahuan filsafat merupakan pendapat yang selalu melekat pada pandangan fisafat seseorang. Pemikiran fisafat itu selalu mendapat pembenahan dart ahli filsafat yang menggunakan metodologi pemikiran yang sama pula. Kebenaran jenis yang ke empat adalah kebenaran pengetahuan yang terkandung dalam pengetahuan agama. Memiliki sifat dogmatis artinya pernyataan dalam suatu agama selalu dihampiri oleh keyakinan yang telah tertentu, sehingga dalam pemyataan-pernyataan dalam ayat-ayat kitab suci agama. Meneliti nilai kebenaran yang sesuai dengan keyakinan yang digunakan untuk memahaminya, dapat berkembang secara dinamik sesuai dengan perkembangan waktu akan tetapi kandungan maksud ayat, kitab suci itu tidak dapat dirubah dan sifatnya absolut.[9]

Kebenaran pengetahuan yang ketiga adalah nilai kebenaran pengetahuan yang dikaitkan atas ketergantungan terjadinya pengetahaun itu. Bagaimana relasi atau hubungan antara subjek dan objek. Manakah yang dominan untuk membangun pengetahuan itu subjek atau objek ?, jika subjek yang berperan maka jenis pengetahuan itu mengandung nilai kebenaran yang sifatnya subjektif artinya nilai kebenaran dan pengetahuan atau mengandung nilai kebenaran yang sifatnya subjektif artinya nilai kebenaran dan pengetahuan yang dikandungnya itu tergantung pada subjek yang memiliki pengetahuan itu atau jika objek amat berperan maka sifatnya objektif seperti pengetahuan tentang alam atau Ilmu ilmu alam.[10]

B. PENGERTIAN AGAMA

Agama berasal dari kata Sansakaerta, karenanya tafsir agama tidak mungkin dibahas berdasarkan ayat-ayat qur’an yang di wahyukan Allah SWT. Dalam bahasa arab, kata agama adalah sama dengan peristilahan bahasa inggris “religion” atau dalam peristilahan sehari-hari “religi”. Menurut kamus The Holt Inter Mediate Dictionary Of Amarica English, religi itu di terangkan sebagai berikut : Belief in and Worshif of God or the Super Natural (kepercayaan dan penyembahan kepada Tuhan atau kepada yang maha mengetahui).

Dalam kamus “the Advanced Learnis Dictionary Of Current English” merumuskan “religion” : Belief in the Existense Of Current English” merumuskan religion : Belief In The Exsetense Of Suppernatural Rulling Power, The creator and controller Of The Universe, Who has given to man a Spritual nature Which Continues to exist after the death of body. “(agama adalah mempercayai adanya kekuatan kodrat yang maha mengatasi, menguasai, menciptakan, dan mengawasi alam semesta dan yang telah menganugerahkan kepada manusia suatu watak rohani, supaya manusia dapat hidup terus menerus setelah mati tubuhnya) dan dalam kamus “an english readers dictionary by A.S Homby and E.C Parnawell merumuskan religi sebagai berikut:

  1. Kepercayaan pada Tuhan sebagai pencipta dan pengawas alam semesta.
  2. Sistem kepercayaan dan penyembahan didasarkan atas keyakinan tertentu.[11]

Siddi Gazalba mendefinisikan : “Religi adalah kepercayaan pada hubungan manusia dengan yang kudus, dihayati sebagai hakikat yang gaib, hubungan menyatakan diri dalam bentuk serta sistem kultus dan sikap hidup, berdasarkan doktrin tertentu.[12]

Dr. Muhammad Abdullah Darraz, menyimpulkan definisi sebagai berikut : Ad-­Din dalam kontek agama baik agama yang benar ataupun agama rusak dan agama samawi (bersumber kitab wahyu) ataupun yang pagans (keberhalaan) beliau mengatakan: Ad-Din adalah “Keyakinan terhadap exsistensi (wujud) suatu dzat atau beberapa dzat ghaib yang maha tinggi, ia memiliki perasaan dan kehendak, ia memiliki wewenang untuk mengurus atau mengatur yang berkenaan dengan nasib manusia. Kata lain Ad-din adalah “keyakinan (keimanan) tentang suatu dzat ketuhanan (illahiyah) yang pantas untuk menerima ketaatan dan ibadah (penyembahan)”. Berdasarkan pengamatan Ad-Din dari sisi kondisi kejiwaan (Psikologis) yang berarti “keyakinan keagamaan”, adapun jika kita melihat Ad-din dari sisi lain agama suatu hakekat eksternal, maka kita katakana : Ad-Din merupakan kumpulan hokum ketentuan ilahiyah itu, dan kumpulan kaidah-kaidah praktis yang menggariskan cara beribadah kepada­-Nya.[13]

Al-qur`an telah menamakan Ad-Din sebagaimana tersebut dalam firman Allah SWT “Untukmulah Agamamu, dan untukmulah agamaku”. Ulama Islam mendefinisikan Ad-Dien “adalah peraturan illahi yang mengendalikan orang-orang yang memiliki akal sehat secara sukarela kepada kebaikan hidup di dunia dan keberuntungan di kahirat.[14] Al-qur’ an telah menetapkan bahwa agama Allah itu adalah satu, sebagaimana Firman Allah. “Seseungguhnya agama yang di ridhai di sisi Allah hanyalah Islam” (Al-Imran:19).[15]

Dengan rumusan-rumusan dan pengertian diatas pengertian agama dapat disimpulkan banwa isi agama sebagai benkut:

  1. Suatu sistem kepercayaan kepada Tuhan
  2. Suatu Sistem semsembanan kepada Tuhan.

Ad-Din yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW. ialah apa yang duturunkan Allah, didalam Al-qur’an yang tersebut dalam sunnah yang shahih, berupa perintah­-perintah, larangan-larangan dan petunjuk-petunjuk untuk kesejahteraan dan kebahagian hidup manusia di duma dan akhirat. Seiain kata then juga dalam Quran terdapat kata “Millah” firman Allah SWT, Q.S Al-an’am:14 “Dien (agama) yang benar ialah Millah (agama) ibrahim yang lurus.[16]

Thanir Abd iviuin menerangkan: “terkadang syara itu dinamakan juga Ad-Din atau ifilliah, karena hukum-hukum itu wajib dipatuhi, maka disebut ad-Din karena hukum itu dicatat dan dibukukan, dinamakan Millah, kemudian karena hukum-hukum itu wajib di jaiankan, maka dinamakan syara”.

Dalam peristilahan Bahasa Arab dan AI-Qur’ an kata agama dapat diartikan dengan kata Ad-Din apabila kata itu dapat berdiri sendiri. Akan tetapi apabila kata ad-­Din dirangkaikan dengan Allah ‘atau dengan al-Haq maka menjadilah “Dinullah” atau Dinul Haq, la lalu berarti agama yang datang dari Allah atau agama yang benar. Sebagaimana firman Allah 61: 9 Artinya : “Dialah yang mengutus rasulnya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang-orang musyrik membenci…[17]

Muhammad Abduh Darraz telah membahas masalah itu dalam bukunya yang berbobot tentang ad-Din. Beliau menyimpulkan definisi tentang ad-Din, yaitu dalam kontek agama apapun, baik agama yang benar maupun yang rusak dan agama. Samawi (bersumber kitab wahyu ) ataupun yang pagans (kebehalaan) beliau mengatakan : ad-Diin (agama ) adalah keyakinan terhadap eksistensi (wujud ) suatu Dzat atau beberapa dzat ghaib yang Maha tinggi, Ia memiliki perasaan dan kehendak Ia memiliki wewenang untuk mengurus dan mengatur urusan yang berkenaan dengan nasib manusia. Jadi singkatnya ad-Din adalah keyakinan tentang suatu Dzat illahiyah yang pantas untuk menerima ketaatan.[18] Definisi Agama menurut konsep Al-Qur’ an ad-Diin Adalah peraturan.

C. UKURAN  KEBENARAN

Berpikir merupakan suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang benar. Apa yang disebut dengan benar bagi seseorang, belum tentu benar bagi orang lain. karena itu kegiatan berpikir adalah usaha untuk mengetahui benar atau kriteria kebenarannya, karena sifat dan watak pengetahuan itu berbeda. Pengetahuan tentang alam metafisika tentunya, tidak sama dengan pengetahuan tentang alam fisik. Alarn fisik pun memiliki perbedaan ukuran kebenaran bagi setiap jenis dan bidang pengetahuan.[19]

Secara umum orang merasa bahwa tujuan pengetahuan adalah untuk mencapai kebenaran, namun masalahnya tidak hanya sampai disitu saja. Problem kebenaran ilmiah yang memacu tumbuh dan berkembangnya epistemologi.

Telah epistemologi terhadap kebenaran membawa orang kepada suatu kesimpulan bahwa perlu di bedakan a  danya tiga jenis kebenaran yaitu : kebenaran epistemologi, kebenaran ontologis dan kebenaran semantis.[20]

Kebenaran “epistomolgi” adalah kebenaran yang berhubungan dengan pengetahuan manusia. Kebenaran “antologis” adalah kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat pada hakikat segala sesuatu yang ada atau diadakan. Kebenaran dalam arti “semantis” adalah kebenaran yang terdapat serta melekat dalam tutur kata bahasa. Ukuran kebenaran Pengetahuan filsafat ialah pengetahuan yang logis tidak empiris, pengetahuan ini menjelaskan bahwa ukuran kebenaran filsafat ialah logis tidaknya pengetahuan itu, bila logis itu benar, bila tidak logis salah.[21]

Ukuran kebenaran menurut Plato lebih diletakan dalam objek atau kenyataan yang diketahui dalam kehidupan sehari-hari kalau kita berbicara tentang kebenaran pengetahuan biasanya kebenaran itu memang berkedudukan dalam pernyataan-­pernyataan. Filosofis maupun teologis Kepercayaan-kepercayaan agama tempat kebenaran pertama-tama dalam diri subjek yang mengetahui, sebagaimana di ketahui dari pikiran dan ungkapannya baik dalam bahasa lisan maupun tulisan, dari kepercayaan-kepercayaan yang diyakininya. Namun kebenaran tidak lain adalah nalar atau bahkan penyamaan akal budi dengan kenyataan dan hanya dalam idealitas penyamaan yang sempurna antara keduanya bisa terjadi. Maka kebenaran sesungguhnya juga sekaligus berkedudukan dalam objek atau kenyataan yang dikenal.

Dalam kenyataan hidup manusia sehari-hari pernyataan-pernyataan yang dianggap benar walaupun memang menjadi tempat kedudukan kebenaran, namun hal itu hanya terjadi jikalau kenyataan yang sesungguhnya tersingkapkan kenyataan sebagaimana ternyata tidak bisa disaksikan secara sekaligus dan menyeluruh, setiap penyingkapan tabir selalu tidak pernah sama sekali terbatas dari perjumpaan dengan tabir baru yang masih menutupi kenyataan tersebut. Maka pencarian dan penemuan kebenaran akhirnya berada dan dapat tersingkap dalam relasi antara subjek dan objek, maka penegasan kebenaran tak dapat dilepaskan dari kontek sejarah. Kebenaran dan kesejarahan bukan dimana yang saling mengecualikan atau bertentangan satu sama lain. Kebenaran pengetahuan menjadi nyata dalam proses sejarah.

D. TEORI-TEORI KEBENARAN

Dalam perkembangan pemikiran filsafat perbincangan mengenai kebenaran sudah dimulai sejak Plato yang kemudian diteruskan oleh Aristoteles. Plato melaiui metode ._ dialog membangun teori pengetahuan yang cukup lengkap sebagai teori pengetahuan yang paling awal. Teori kebenaran selalu paralel dengan teori pengetahuan yang dibangunnya. Teori-teori kebenaran yang telah terlembaga itu anatara lain adalah:

  1. Teori Kebenaran Korespodensi

Menurut teori ini, kebenaran atau keadaan benar itu apabila ada kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh suatu pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju oleh pernyataan dan pendapat tersebut. Dengan demikian kebenaran epistemologi adalah kemanunggalan antara subjek dan objek pengetahuan itu dikatakan benar apabila dalam kemanungalan yang sifatnya intrinstik, intensionaldan fasif aktif terdapat kesesuaian antara apa yang ada di dalam pengetahuan subjek dengan apa yang ada dalam objek.

Menurut teori ini kebenaran adalah kesesuaian antara pernyataan tentang sesuatu deman kenvet Agn sesuatu itu sendiri suatu contoh :_Dalam dwlid,_ alts , teori ini sangat penting sekali. Digunakan guna mencapai suatu kebenaran yang dapat diterima oleh semua orang. “katakanlah bodrex adalah obat sakit kepala, untuk membuktikan kebenaran pernyataan ini tidak hanya memakan obat tersebut, tetapi juga meneliti ulang kebenaran unsur-unsur yang terdapat dalam bodrek, dengan demikian suatu pernyataan tidak hanya diyakini sedemikian rupa, akan tetapi digunakan untuk diteliti.

  1. Teori Kebenaran Koherensi

Teori koherensi atau teori konsistensi yang sering pula dinamakan : The coherence theory of truth. Menurut teori ini kebenaran tidak dibentuk atas hubungan antara putusan (judgment) dengan sesuatu yang lain, yang fakta atau realitas, tetapi atas hubungan antara putusan-putusan itu sendiri. Dengan kata lain kebenaran ditegakkan atas hubungan-hubungan antara putusan yang baru dengan putusan­-putusan lainnya yang telah diakui.

Kebenaran menurut teori ini ialah kesesuaian antara sesuatu pernyataan dengan pernyataan-pernyataan lainnya yang sudah lebih dahulu kita ketahui, terima dan akui sebagai yang benar. Contoh 3+3 = 6 adalah benar, karena sesuai dengan kebenarannya yang sudah disepakati bersama terutama oleh komunitas matematika.[22]

  1. Teori Kebenaran Pragmadis

Teori Pragmatisme tentang kebenaran, the pragmatic theory of truthh pragmatisme berasal dari bahasa Yunani yaitu Pragma artinya yang dikerjakan, yang dilakukan, perbuatan, tindakan, sebutan-bagi filsafat yang dikembangkan oleh WILLIAM JAMES di Amerika Serikat, menurut filsafat ini benar tidaknya suatu ucapan, dalil, atau teori semata-mata bergantung pada asas manfaat. Sesuatu dianggap benar jika mendatangkan manfaat dan akan dikatakan salah jika tidak mendatangkan manfaat. Menurut teori ini suatu kebenaran dan suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsiaonal dalam kehidupan manusia. Teori hipotesa atau ide adalah benar apabila membawa kepada akibat yang memuaskan, apabila ia berlaku dalam praktik, apabila ia mempunyai nilai praktis, kebenaran terbukti oleh kegunaannya, oleh hasilnya dan oleh akibat-akibat praktisnya. Jadi kenbenaran ialah apa saja yang berlaku sesuatu itu benar apabila memuaskan keiginan dan tujuan manusia, sesuatu itu benar apabila dapat diuji benar dengan ekperimen, sesuatu itu benar apabila mendorong atau membantu perjuangan biologis untuk tetap ada (itu yang disebut dengan hasil yang memuaskan).

Jadi untuk penganut Pragmatis, ujian kebenaran ialah kegunaan (utility) dapat dikerjakan (workobility), akibat atau pengaruhnya yang memuaskan, tidak ada sesuatu kebenaran yang tetap atau kebenaran yan mutlak. Dengan kata lain sesuatu pengertian itu tidak pernah benar, hanya dapat menjadi benar kalau saja dapat di manfaatkan secara praktis.[23]

  1. Teori kebenaran Sintaksis

Pendapat teori ini, berpangkal tolak pada keteraturan sintaksis atau pragmatika yang dipakai oleh suatu pernyataan atau tata bahasa yang melekatnya dengan demikian suatu pernyataan memiliki nilai benar bila penyataan itu mengikuti aturan-­aturan sintaksisi yang baku. Apabila proposisi itu tidak mengikuti syarat atau keluar dari hal yang disyaratkan maka proposisi itu tidak mempunyai arti. Teori ini berkembang diantara para filosof analisa bahasa, terutama yang begitu ketat terhadap pemakaian yang gramatika. Menurut SCHLEIRMACHER sebagaimana dikutip oleh POESPOPROJON pemahaman adalah suatu rekontruksi, bertolak dari ekpresi yang selesai diungkapkan menjurus kembali kesuasana kejiwaan ekpresi itu diaungkapkan, disini saling terjadi yakni momen tata bahasa dan momen kejiwaan.[24]

  1. Teary Kebenaran Semantis

Menurut teori ini, kebenaran Simantik atau proposisi memiliki nilai benar ditinjau dari segi arti atau makna. Apakah proposisi itu merupakan pangkal yang mempunyai pengacu (reference) yang jelas, Oleh karena itu teori ini memiliki tugas untuk menguak kesyahan pryosisi dalam referensinya itu.

Teori kebenaran simantis, sebenarnya berpangkal atau mengacu pada pendapat Aristoteles sebagaimana yang digambarkan oleh “WHITE” bahwa teori simantik menyatakan proposisi itu mempunyai nilai kebenaran, bila memiliki arti yang menunjukan makna yang sesungguhnya dengan menunjuk pada referensi atau kenyataan juga yang bersifat defnitif anti yang jelas dengan menunjuk ciri yang khas dari sesuatu yang ada.

  1. Teori kebenaran Non Deskripsi

Teori kebenaran Non deskripsi di kembangkan oleh penganut filsafat fungsionalisme. Karena pada dasarnya suatu sistem atau pernyataan itu akan mempunyai nilai benar yang amat tergantung peran dan fungsinya pernyataan itu. “WHITE” menggambarkan tentang kebenaran sebagaimana dikemukakannya pengetahuan akan memiliki nilai benar, sejauh pengetahuan itu memiliki fungsi yang amat praktis dalam kehidupan sehari-hari. Pernyataan itu juga merupakan kesepakatan bersama untuk menggunakan secara praktis dalam kehidupan sehari-hari.

  1. Teori Kebenaran Logik

Menurut teori ini adalah problema kebenaran.hanya kekacauan bahasa saja, dan hal ini akibatnya merupakan suatu pemborosan, karena pada dasarnya apa pernyataan yang hendaknya dibuktikan sebenarnya memiliki derajat yang logik yang sama yang masing-masing saling melengkapinya. Dengan demikina sesungguhnya setiap proposisi yang bersifat logik dengan menunnjukan bahwa proposisi itu mempunyai isi yang sama, memberikan informasi yang sama dan semua sepakat maka apabila kita membuktikannya lagi yang yang demikian itu hanya merupakan bentuk logis yang berlebihan karena suatu pernyataan yang hendak di buktikan nilai kebenamnya sesungguhnya sudah merupakan fakta atau data _yang telah memiliki evidensi artinya objek pengetahuan itu telah menunjukan kejelasan dalam dirinya sendiri. Misalnya suatu lingkaran adalah bulat, ini telah meberikan kejelasan dalam pernyataan itu sendiri.tidak pula diterangkan lagi karena pada dasarnya lingkaran adalah suatu yang terdiri dari rangkaian titik yang jaraknya sama dari satu titik tertentu. sehingga berupa garis yang bulat.

  1. Sifat Kebenaran Ilmiah

Kebenaran ilmiah muncul dari hasil peneletian ilmiah artinya sesuatu kebenaran tidak mungklin muncul tanpa adanya prosedur baku yang dilaluinya. Prosedur baku yang harus di lalalui itu adalah tetap untuk mernperoleh pengetahuan ilmiah, yang pada hakikatnya berapa teori melalui metodologi ilmiah yang telah baku sesuai dengan sifat dasar ilmu. Maksudnya setiap ilmu secara tegas menetapkan jenis objek secara ketat, apakah objek Au berupa hat konkret atau abstrak. Pembicaraan tentang objek secara rinci telah dijelaskan di muka. Selain itu juga ilmu ilmu menetapkan langkah-langkah ilmiah sesuai dengan objek yang di hadapinya. Kebenaran dalam ilmu adalah. kebenaran yang sifatnya objektif, maksudnya ialah bahwa kebenaran dari suatu tiori atau lebih tinggi lagi aksiomanya atau pradigma, harus didukung oleh fakta-fakta yang berupa kenyataan dalam kenyataan objeknya.

Kenyataan yang berupa suatu yang dapat dipakai acuan atau kenyataan yang pada mulanya merupakan objek dalam pembentukan pengetahuan ilmiah itu. Mengacu pada status ontologis objek, maka pada dasarnya kebenaran dalam ilmu dapat di golongkan dalam dua jenis teori, yaitu teori kebenaran korespondensi atau teori kebenaran koherensi. Ilmu-ilmu kealaman pada umumnya bentuk kebenaran korespondensi karena fakta-fakta objektif amat dituntut dalam pembuktian terhadap setiap proposisi atau pernyataan (statement), akan tetapi berbeda dengan ilmu-ilmu kemanusiaan, ilmu-ilmu sosila, ilmu logika dan matematika. Ilmu-ihnu tersebut menuntut konsisstensi dari koherensi diantara, proposisi-proposisi sehingga pembenaran bagi ilmu ilmu itu mengikuti teori kebenaran koherensi.

E. AGAMA SEBAGAI TEORI KEBENARAN

Manusia adalah makhluk pencari kebenaran. Salah satu cara untuk menemukan suatu kebenaran adalah melalui agama. Agama dan karakteristiknya sendiri meberikan jawaban atas segala persoalan asasi yang dipertanyakan manusia, baik tentang alam, manusia, maupun tentang Tuhan. Kalau teori yang lain mengutamakan akal, budi, rasio manusia, dalam agama yang dikedepankan adalah wahyu yang bersumber dari Tuhannya.[25]

Dalam mencapai ilmu pengetahuan yang benar dengan berfikir setelah melakukan penyelidikan, pengalaman dan percobaan sebagai teori trial and error. Sedangkan manusia mencari-mencari dan menentukan kebenaran sesuatu dalam agama dengan jalan mempetanyakan atau mencari jawaban tentang berbagai masalah asasi dari atau kepada kitab Suci. Dengan demikian sesuatu dianggap banar apabila sesuai dengan ajaran agama atau sebagai wahyu sebagai penentu kebenaran mutlak, oleh karena itu sangat wajar ketika Imam Al-ghazali merasa tidak puas dengan penemuan-penemuan akalnya. Dalam mencari kebenaran.

Dalam tasawuf setelah dia mengalami proses yang amat panjang, maka tasawuflah yang menghilangkan keragu-raguan tentang segala sesuatu. Kebenaran menurut agama inilah yang dianggap oleh kaum Sufi sebagai kebenaran mutlak, yaitu kebenaran yang sudah tidak dapat di ganggu gugat lagi. Namun Al-Ghazali tetap merasa kesulitan menentukan kriteria kebenaran. Akhirnya kebenaran yang didapatnya adalah kebenaran subjektif atau inter subjektif.[26]


[2]        Abas Hamami, sekitar masalah ilmu, bina ilmu surabaya, 1980,h1m. 35

[3]        lbid

[4]        J. Sudarminta, Epistemologi dasar, kanisius, Yogyakarta, 2002 , hlm. 127

[5]        Ibid

[6]        J. Sudarminta, Epist’mologi dasar, Kanisius, Yogyakarta, 2002, hlm.128

[7]        ibid Him. 128

[8]        Tim Dosen Filsafat Ilmu, I iberti Yoyakarta, 2001 ~ h1m. 22

[9]        Tim Down Filsafat llrnu, liberty Yogyakarta, 2001, him. 35

[10]       Tim Dosen Filsafat llmu, Liberty Yogyakarta, 2001). him. 52

[11]       K.Marx and F.EngeKls,on Religion,Game Insani,Jakarta Thn 1997 him 146.

[12]       Sidi Gazalba,Masjid Pusat Ibadatdan kebudayaan islam,Gema Insani,jakarta.1983 H1m:22

[13]       A-din,Darul Qollam,Kuwait, tahun 1990.Hlm 52.

[14]       Kajian Islam, Yusuf Al-Qordhawy, Pustaka Al-kautsar, tahun 1997, hlm. 16.

[15]       Al-cur’ an Departemewn Agama,Toha Putra,Hlm 52,Thn 1989.

[16]       Ibid

[17]       Departemen Agama, Terjemahan Al’ Qur an, Jakarta, 1971

[18]       Yusuf Al-Qordowi, Pengantar Kajian Islam, Pustaka Al-Kutsar, Jakarta 1997. him. 92

[19]       Filsafat Ilmu,Amsal bakhtiar,PT Raja Grapindo Prasada,jakarta,2004 hlm 111

[20]       Holiab Weathloly,Tanggungjawab pengetahuan,Yogyakarta,kanasius,2001,hlm 111

[21]       Filsafat 11mu,Ahmad tafsir,Triana garis creative,2002.hlm 41

[22]       ibid h1m,118

[23]       Fill I1mu,Tim Dosen Fil Ilmu,Yogyakarta. 1996 hal,140

[24]       Ibid hat, 143

[25] Endang Saefudin Anshori, Ilmu Pengetahuan, Granesa, 1987,hlm 172

[26] Amstal Bkhtiarm Filsafat Ilmu, Ganes, 2004, hlm. 28.

Leave a comment